Asal Mula
Masjid Batu di Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya
Masjid Batu
terletak di Jalan Sepakat desa Teluk Pakedai Hulu, kecamatan Teluk Pakedai
kabupaten Kubu Raya. Jarak dari pusat kecamatan menuju ke masjid Batu tidaklah
terlalu jauh, sekitar ±3KM dari pasar Selat Remis. Masjid Batu berdiri pada
tanggal 4 Dzulhijjah 1345 H (1926 M), merupakan masjid pertama di kecamatan
Teluk Pakedai. Masjid ini dinamakan masjid Batu karena struktur bangunan masjid
yang mayoritas terdiri dari batu bata, bahkan dalam rancangan awal masjid Batu
sendiri rencananya tidak menggunakan kayu sama sekali dan hanya menggunakan
batu. sehingga saat nama masjid ini belum diketahui namanya, masyarakat sekitar
menyebutnya dengan masjid Batu. Masjid Batu didirikan sebagai tempat ibadah
bagi umat muslim Teluk Pakedai, karena keberadaan masjid sangat penting bagi
umat muslim. Dengan bertambahnya jumlah umat muslim di Teluk Pakedai, maka
dibutuhkan juga tempat ibadah yang lebih besar. Haji Ismail Mundu beserta murid
dan sahabat karibnya Haji Haruna Bin Haji Ismail, memiliki inisiatif untuk
mendirikan masjid.
Hal
ini pun diutarakan beliau kepada murid-muridnya yang lain, dan mendapat
tanggapan yang sangat baik. Bahkan salah seorang muridnya yaitu H.Doeng
mewakafkan tanahnya yang terletak di desa Teluk Pakedai Hulu, H.Doeng adalah
salah satu orang terkaya di Teluk Pakedai saat itu. Sedangkan dana
pembangunannya merupakan sumbangan dari Haji Haruna Bin Haji Ismail dan dana
sumbangan dari murid-murid Haji Ismail Mundu di Malaysia. Arsitek pembangunan
masjid di datangkan langsung dari Pontianak oleh Haji Haruna Bin Haji Ismail,
yaitu Abdul Wahid Bin Abu alias Wak Bangkik. Abdul Wahid Bin Abu juga merupakan
arsitek Lembaga Permasyarakatan Pontianak yang sekarang berubah menjadi RS Santo
Antonius. Sedangkan untuk pembangunan masjid dikerjakan oleh murid-murid Haji
Ismail Mundu dan masyarakat sekitar. Tidak ada tanggal pasti kapan masjid
selesai dibangun, yang diketahui hanyalah masjid Batu baru difungsikan sebagai
tempat untuk shalat jum’at pada tahun 1348 H (1929 M).
Berdirinya
masjid Batu merupakan inisiatif dari Haji Ismail Mundu dan sahabatnya yaitu
Haji Haruna Bin Haji Ismail. Haji Ismail Mundu adalah ulama tersohor dari
kerajaan Kubu dari keturunan raja Sawito di Sulawesi Selatan. Beliau lahir pada
tahun 1287 H yang bertepatan pada tahun 1870 M. Ayahnya bernama Daeng Abdul
Karim alias Daeng Talengka bin Daeng Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge
Kaceneng Appalewo bin Arunge Betteng Wajo’ Sulawesi Selatan dari keturunan
Maduk Kalleng. Sementara Ibunya bernama Zahra (Wak Soro) berasal dari daerah
Kakap, Kalimantan Barat. Di masa kecilnya, Haji Ismail Mundu sudah mulai
mendalami dan mengamalkan ajaran Islam secara bersungguh-sungguh. Dan di masa
itu beliau belajar dengan beberapa guru, antara lain dengan Haji Muhammad bin
Haji Ali, dengan waktu tujuh bulan, Haji Islmail Mundu berhasil belajar
Al-Qu’ran dan mengkhatamkannya. Guru selanjutnya adalah Haji Abdul Ibnu Salam
yang berdomisili di Kakap, kemudian beliau berguru dengan seorang mufti di
Makkah, yaitu Sayyed Abdullah Azzawawi. Setelah puas belajar di Makkah, beliau
kembali ke tanah Bugis dan belajar agama dengan Tuan Umar Sumbawa.
Setelah
usianya genap dua puluh tahun, Haji Ismail Mundu kemudian menunaikan ibadah
haji untuk pertama kalinya. Di sana beliau mengakhiri masa lajangnya yang
kemudian menikahi seorang gadis berdarah Arab yang bernama Ruzlan Alhabsyi.
Mungkin Allah berkehendak lain, pernikahan dengan gadis Arab itu tak
berlangsung lama. Istrinya pulang ke rahmatullah. Namun, rasa sedih itu diobati
dengan menikah kembali dengan seorang gadis yang berasal dari Pulau Sarasan
yang bernama Hajjah Aisyah. Benih-benih cinta benar-benar hanya diujung pelupuk
mata, sebab biduk rumah tangga beliau bersama Hajjah Aisyah tak berlangsung
lama, karena berpulang ke rahmatullah.
Namun,
kembali beliau membangun rumah tangga dengan menikahi seorang wanita yang
berasal dari Desa Sungai Kakap Pontianak yang merupakan masih dalam ikatan
keluarga (sepupu) yang bernama Haffa binti Haji Semaila. Dari pernikahan itu
beliau mendapat tiga orang anak. Kembali, jiwa beliau di uji. Istri beliau
meninggal saat melahirkan anak ketiganya. Sementara itu, anak-anak beliau juga
meninggal di usia muda. Setelah itu, beliau kembali menikah untuk keempat
kalinya dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab yang bernama Hajjah
Asmah. Selanjutnya beliau menunaikan ibadah haji bersama istrinya. sembari
beribadah, beliau kembali menemui gurunya untuk belajar ilmu agama yaitu Sayyed
Abdullah Azzawawi. Pada tahun 1904 M, beliau kembali ke Indonesia, tepatnya di
Desa Teluk Pakedai. Di desa itu beliau menggaungkan nilai-nilai Islam dengan
cara merubah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti adu ilmu dan perilaku kebatilan
lainnya. Berkat kegigihan dan kerja keras beliau, desa itu kian membaik dan
nilai-nilai Islam tumbuh dengan baik. Dengan itu, beliau mendapatkan simpati
dari raja Kubu, sehingga beliau kemudian diangkat menjadi mufti di kerajaan
Kubu pada tahun 1907 M. Dengan jabatan tersebut maka Haji Ismail Mundu menjadi
tumpuan tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah agama baik dari kalangan
kerajaan maupun masyarakat luas, khususnya berbagai masalah yang berkaitan
dengan problem yang dihadapi oleh kaum muslimin. Semua permasalahan yang
diajukan kepada beliau, diupayakan dapat diputuskan dengan penuh bijaksana
(hikmah) dan nasehat baik (mauidzah hasanah). Atas segala kemampuan dan
kharisma serta besarnya pengaruh yang dimiliki oleh Haji Ismail Mundu, maka
pada tanggal 31 Agustus 1930 (1349 H) beliau mendapat penghargaan dari
pemerintah Belanda berupa bintang jasa danHonorarium dari Ratu
Wilhelmina. Pada tahun 1951 setelah kerajaan Kubu berakhir dan bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, wedana Kubu yang pertama yaitu Gusti Jalma
mengangkat Haji Ismail Mundu sebagai Hakim Mahkamah Kubu Pertama, tidak
diketahui sampai kapan beliau menjabat sebagai Hakim Mahkamah Kubu. Pada
tanggal 30 Jumadil Awal 1377 H (1957 M), kondisi kesehatan Haji Ismail Mundu
karena usianya yang sudah tua. Akhirnya Haji Ismail Mundu wafat pada tanggal 15
Jumadil Akhir 1377 H atau pada 16 Januari 1957 M.
Sedangkan
Haji Haruna Bin Haji Ismail adalah murid sekaligus sahabat karib Haji Ismail
Mundu, beliau berasal dari desa Batu Pahat Johor Malaysia. Meskipun berasal
dari Malaysia, Haji Haruna Bin Haji Ismail sejatinya adalah putra bugis yang
lama menetap di Malaysia. Tetapi keinginannya untuk belajar agama membawanya ke
Teluk Pakedai yang memang mayoritas penduduknya adalah masyarakat suku bugis
dan bertemu dengan Haji Ismail Mundu yang akhirnya menjadi guru dan sahabat
karibnya. Haji Haruna Bin Haji Ismail sangat berjasa dalam pembangunan Masjid
Batu, karena dari dirinyalah sumber dana pembangunan masjid pertama berasal.
Struktur
bangunan masjid Batu cukup unik, karena bangunan masjid Batu yang tidak
memiliki tiang penyangga besar seperti masjid pada umumnya. Hal ini dikarenakan
pada awal pembangunannya masjid Batu dirancang untuk dibentuk seperti Ka’bah,
yaitu berbentuk persegi empat. Bahan untuk membangunnya juga sebagian besar
terdiri dari batu bata, sesuai dengan rancangan awal yang tidak menggunakan
bahan dari kayu. Tetapi dalam pembangunannya masjid batu akhirnya tidak jadi
dibentuk seperti Ka’bah, hal ini dikarenakan kurangnya dana untuk pembangunan
masjid. Mahalnya harga batu bata yang digunakan menjadi alasan besarnya dana
pembangunan masjid, selain itu biaya pengangkutan batu juga sangat mahal. Batu
bata yang digunakan dalam pembangunan masjid berasal dari Malaya dan diangkut
menggunakan perahu bandung (kapal air). Hal inilah yang akhirnya membuat
rancangan awal yang berbentuk Ka’bah tidak dilanjutkan, bentuk masjid pun
akhirnya dibuat menyerupai masjid pada umumnya, yaitu dengan menggunakan atap
(kubah).
Yang
menarik lagi dari masjid Batu adalah jumlah pintu yang cukup banyak untuk
ukuran masjid yang tidak terlalu besar, total ada delapan pintu termasuk pintu
masuk utama yang dimiliki oleh masjid batu. Banyaknya jumlah pintu yang
dimiliki masjid Batu merupakan amanah dari guru Haji Ismail Mundu, karena
merupakan perintah yang terdapat dalam agama islam. Jadi tidak terkandung makna
filosofis tentang banyaknya jumlah pintu, melainkan murni untuk mengikuti
anjuran dalam agama islam.
LAMPIRAN
maf ibu desanya itu salah,bukan teluk pakedai hulu,tetapi desa selat remis
BalasHapus