Senin, 04 Mei 2015

SASTRA INDONESIA


  Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sastra Daerah

Dosen Pengampu : Ramadhan, KY, M. Pd.


Oleh:
Angelina Yosi                        : 511300114
Apriana Putih                         : 511300056
Dewi Ratna                           : 511300091
Falentina Metadias N             : 511300174
Pelisia                                   : 511300026
Stephani Agnesia Natalia       : 511300172
Sutina Pardianti                     : 511300105
Tri Ramadhanti                      : 511300004
Yulia Veronika K                             : 511300089










PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
2015

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra Daerah yang diampu oleh bapak Ramadhan, KY, M. Pd.
Makalah ini disusun berdasarkan referensi yang telah ada sebelumnya di mana dalam pembahasannya lebih menuju pada cakupan materi yang diambil dari sumber kepustakaan. Makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi, bentuk maupun dari segi penulisannya. Hal tersebut disebabkan keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif (membangun) dari pembaca dan pihak-pihak terkait demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Sastra Daerah yaitu bapak Ramadhan, KY, M. Pd. selaku dosen pengampu yang telah memberikan banyak bimbingan.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan prestasi yang dimilikinya terutama pada mata kuliah Sastra Daerah.



Pontianak,             April 2015



            Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................   i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.      Latar Belakang.................................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.      Tujuan................................................................................................. 2
D.     Manfaat............................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4
A.      Metode Penelitian Sastra dan Pola dari Barat.................................... 4
B.      Warna Lokal Sunda dan Sundalogi.................................................... 7
C.      Telaah Sastra Akademis Identik dengan Keformalan....................... 11
D.     Awal dan Kelanjutan Penelitian Apresiasi Sastra.............................. 13
E.      Mencegah Verbalisme Literer............................................................ 15
BAB III PENUTUP..................................................................................... 18
A.      Simpulan............................................................................................ 18
B.      Saran.................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 20






BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual disamping konsumsi emosi. 
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata  “sas” biasanya menunjukkan alat/sarana. Awalan “su” berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23). Kata sastra tersebut mendapat akhiran  “tra”  yang  biasanya  digunakan  untuk  menunjukkan  alat  atau  sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.
1
 
Sastra Indonesia adalah keseluruan teks sastra (kesusastraan) berbahasa Indonesia yang tumbuh pada awal abad ke-20.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia yaitu sastra berbahasa Indonesia. Sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan naskah drama berbahasa Indonesia. Pada kenyataanya telah berkembang sastra-sastra  daerah : Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Toraja, Lombok, dan sebagainya. Dalam konteks wilayah pertumbuhan dan perkembanggannya secara nasional, berbagai sastra daerah itu dapat disebut juga sastra Indonesia dengan pengertian sastra milik bangsa Indonesia.  Apabila dihubungkan dengan usaha mewujudkan kebudayaan nasional, jelaslah bahwa sastra daerah itu merupakan unsur kebudayan nasional.
Pesatnya perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan teknologi modern, yaitu percetakan yang juga disebarluaskan melalui sistem komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi, tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan dan kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam makalah ini menyangkut masalah sastra Indonesia. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimanakah metode penelitian sastra dan pola dari Barat ?
2.    Bagaimanakah warna lokal Sunda dan Sundalogi?
3.    Bagaimanakah telaah sastra akademis identik dengan keformalan?
4.    Bagaimanakah awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra?
5.    Bagaimanakah mencegah verbalisme literer?

C.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini didasarkan pada rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya. Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Mendeskripsikan dan menjelaskan metode penelitian sastra dan pola dari Barat.
2.    Mendeskripsikan dan menjelaskan warna lokal Sunda dan Sundalogi.
3.    Mendeskripsikan dan menjelaskan telaah sastra akademis identik dengan keformalan.
4.    Mendeskripsikan dan menjelaskan awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra.
5.    Mendeskripsikan dan menjelaskan mencegah verbalisme literer.

D.  Manfaat
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah serta tujuan yang telah dipaparkan maka penulisan makalah ini memiliki manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dari makalah tersebut sebagai berikut.
a.    Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai sastra Indonesia, yakni metode penelitian sastra dan pola dari barat, warna lokal sunda dan sundalogi, telaah sastra akademis yang identik dengan keformalan, awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra, serta mengenai verbalisme literer.
b.    Bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Makalah  ini diharapkan dapat memberikan motivasi  bagi mahasiswa, dalam menemukan, mengembangkan, dan melestarikan kekayaan sastra Indonesia.
c.    Bagi Penulis
Makalah ini diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, menghasilkan laporan yang sistematis, dan dapat menjadi sumber bacaan dan rujukan untuk meneliti sastra Indonesia.







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Metode Penelitian Sastra dan Pola dari Barat
Sastra sebagai objek ilmu, tentu saja tak dapat mengelak dari kegiatan penelitian. Secara umum ada dua jenis penelitian sastra. Pertama penelitian sastra sinkronis, yaitu penelitian semasa sifatnya boleh penelitian karya individual (penelitian karya satu persatu), boleh pula penelitian bandingan, kedua penelitian sastra diakronis, penelitian karya yang memperhitungkan rentangan waktu kebelakang, penelitian ini melibatkan banyak karya dan sifatnya historis komparatif.
Penelitian karya individual (seterusnya dalam tulisan ini apabila dikatakan penelitian sastra, maka yang dimaksud adalah penelitian karya individual) adalah dasar bagi penelitian lainnya, baik ia penelitian diakronis, maupun ia penelitian bandingan sekurun tanpa adanya penelitian karya individual, penelitian-penelitian seperti tersebut tadi tidak mungkin ada.
Dibandingkan dengan penelitian filogi, usia penelitian sastra ditanah air masih terbilang amat muda, penelitian filogi telah berangkat awal abad ke sembilan belas, bahkan lebih awal lagi dibawah rintisan alih-alih Belanda. Penelitian sastra baru lepas kira-kira tahun lima puluhan yang dirintis oleh Falkultas Sastra Universitas Indonesia.
4
 
Ternyata disamping usianya yang belia dalam masalah penelitian, dari segi eksistensis ilmu sastra pun belum mantap, tak semantap filogi, dalam  kaitan ini Umar Junus, misalnya mengatakan bahwa filologi meski mempunyai dasar teoritis  yang lemah ia mempunyai metode penyelidikan yang eksak (mitos dan komunikasi, sinar harapan, Jakarta, 1981, halama 6). Senada dengan upacara Umar Junus adalah pernyataan Subagio Sastrowardojo, yang dilontarkan seperti ini, “filologi boleh merasa beruntung telah menduduki tempat yang kokoh sebagai studi akademis, sedangkan ilmu sastra masih harus memperjuangkan diri untuk  merebut tempat itu ditanah air kita,” (Horison, no 3, th 1983. Halaman 133). Pernyataan Subagio itu adalah bagian dari uraian makalahnya yang dibawahkan dalam satu seminar yang diselenggarakan oleh LRKN-LIPI 20 Januari 1983, di Jakarta yang berjudul yang dibutuhkan adalah sikap ilmiah terhadap sastra.
Dibagian dalam makalah sastra, Subagio menghimbau agar penelitian sastra memperhatikan berbagai aspek pendukungnya, yang termasuk si pengarang, mengapa dia menulis karya sastra. Bagi Subagio, penelitian yang tak multiaspek, penelitian strukturnya saja antara lain tidaklah termasuk penelitian yang ilmiah.
Sebetulnya ajakan akan penelitian multiaspek itu telah, disuarakan A.Teeuw kurang lebih dua tahun sebelumnya, pada ceramahnya dalam rangka memperingati hari ulang tahun Balai Pustaka yang ke-64, tanggal 22 September 1981 di Jakarta. Dalam pendekatan modern sastra dan karya sastra pertama-tama ingin di pertahankan dalam hakikatnya yang paling mendasar, yaitu sebagai tindakan komunikasi dimana segala faktor, dalam komunikasi harus diperhitungkan dan diberikan tempat yang selayaknya, ”adapun” segala faktor” yang dimaksud Teeuw ialah: pengarang, pembaca, pesan karya, struktur karya, sistem tanda sebagai pembawa pesan, hubungan tanda dengan dunia nyata, hubungan pesan dengan  sistem bahasa dan aspek estetisnya. Teeuw menamakan pendekatan itu sebagai pendekatan semiotik.
Berbagai teori sastra Barat telah masuk ditanah air, dan teori-teori itu telah banyak diterapkan dalam telaah, kritik dan penelitian, di kalangan akademis maupun nonakademis,  ditulis dalam media ilmiah formal maupun ditulis dalam  media massa, umum maupun khusus, khusus telaah dan kritik. Pada dasarnya juga adalah penelitian dalam bentuk lain.
Setiap penelitian ilmiah, paling tidak memiliki tiga komponen-komponen kerja yaitu ,teori, metode, pendekatan, dan teknik. Dalam penelitian  sastra ketiga komponen sering amat kabur. Untuk melihat kekaburan ini, mungkin ada baiknya kita membandingkannya dengan penelitian bahasa, meskipun harus  diakui bahwa bahasa bukanlah sastra dan sastra bukan pula bahasa, meskipun keduanya amat erat berhubungan. Disini relevansi perbandingan tidak terlihat dari hakikat objeknya, tetapi dari sudut keilmuannya yang seharusnya mempunyai kaidah-kaidah yang sama, paling tidak dan tidak terlalu berbeda.
Komponen-komponen penelitian bahasa (sinkronis) sosoknya amat jenis. Sudaryanto (doctor linguistic) misalnya, dalam metode linguistic (falkultas sastra dan kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyajarta, 1982), membedakan “teori”, “metod”, dan “teknik”. Kata, “teori” adalah “kerangka pikiran  mengenai objek” ( dalam bahasa misalnya, pandangan bahwa  bahasa itu sebagi perpaduan  komponen bunyi, pikiran dan situasi  bahwa bahasa itu bersifat linier dan dimana linieritas itu menjadi dasar adanya satuan lingual, seperti kata, frase dan seterusnya dalam penelitian teori itu menjadi “tuntunan kerja”.
“Metode” adalah “cara kerja” penjabar teori dalam munuju objek yang diteliti dan “teknik” adalah “alat” penjabar metode yang langsung “menyentuh” objek, jadi teori dioperasikan oleh metode atau pendekatan dan metode dioperasikan oleh teknik.
Dalam penelitian bahasa, Sudaryanto membedakan tiga metode, yang masing-masing dioperasikan oleh teknik dasar dan sejumlah teknik lanjutan sebagai contoh , metode  analisis / pengolahan  data,  yang didalamnya antara lain mengandung metode (submetode pen) “distribusional” yaitu berupa penghubungan antara fenomen kebahasaaan dalam bahasa itu sendiri seperti “ kata benda itu adalah kata tertentu yang dapat bergabung dengan kata bukan (dan bukannnya dengan tidak ), dapat bergabung dengan kata petunjuk bilangan dengan kata kerja transitif dan menjadi objek  kata kerja transitif tersebut  dan sebagainya” dalam operasionalisasinya ( dalam hal itu unsur langsung “, dan teknik lanjutan ,”delesi” atau penghilangan, substitusi” atau penggantian, “ekspansi” atau perluasan,” interupsi” atau penyisipan,” permutasi” atau pembalikan, dan “paraphrase” atau pengubahan bentuk.
Kini dalam penelitian sastra, khususnya yang berlaku dikalangan akademis sastra, tingkat sarjana maupun pascasarjana, dikenal antara lain pendekatan/ metode penelitian  sastra yang dianggap “sah”, yaitu metode strukturalisme dan semiotic atau strukturalisme dinamik
Yang pertama berpangkal teori strukturalisme, dengan menganggap karya sebagai struktur, yaitu satu keseluruhan yang bulat yang terdiri atas bagian-bagian  dimana arti bagian maupun keseluruhan ditentukan oleh saling hubungan antara bagian dengan bagian atau bagian dengan keseluruhan. Disamping itu struktur mengenai transformasi antar bagian dan pengaturan diri, (self regulation) antar bagian, dalam teori strukturalisme karya dianggap otonom, lepas dari segala sesuatu diluarnya.
Yang kedua adalah pendekatan atas dasar paham  bahwa karya sastra selain sebagai struktur juga ia adalah tanda yang terikat oleh pengarang, pembaca, realitas dan berbagai konvensi.
Terlihat bahwa dalam penelitian sastra, metode identik dengan teori, secara terminologis selanjunya penelitian sastra belum punya jalur jabatan konkret dalam mengoperasikan metode kedalam teknik penelitian, sebagai contoh dalam penelitian roman/novel dengan pendekatan strukturalisme, setelah diketahui unsur-unsur novel sebagi pendukung keseluruhan karya, sampai kini belum didapatkan bagaimana teknik melacak makna unsur satu dalam unsur lain, transformasi unsur satu kedalam yang lain. Hal yang sama berlaku bagi pendekatan strukturalisme dinamik.
Dalam  berabagi kemajuan, termasuk ilmu sastra kita selalu tertinggal dari dunia Barat . Meskipun demikian kita masih beruntung punya A. Teeuw yang mondar-mandir setiap tahun Netherland-Indonesia. Dalam kedatangan di Indonesia beliau selalu membawa “oleh-oleh ilmu sastra” dari Barat. Teori-teori yang berkembang di Indonesia kurun mutakhir ini sebagai berkat jasanya.
Sementara itu, kegiatan ilmu sastra di Barat kini cukup bergolak. Banyak hal berada diluar pengamatan kita, karena kelemahan berbagai faktor yang kita miliki tak mustahil penelitian sastra di Barat kini. Sedangkan menuju ke titik kesempurnaannya, antara lain ditemukannya polarisasi metode penelitian kedalam  operasional tekniknya.

B.  Warna Lokal Sunda dan Sundanologi
Andai kata ada anggapan bahwa apa yang menjadi objek kajian Sundanologi dan sederet “logi-logi” lain yang telah dan akan didirikan pemerintahan aspek-aspek dan aspek-aspek budaya yang telah  tertimbun bongkahan zaman , maka anggapan demikian adalah keliru. Budaya tradisional dan budaya masa lalu hanyalah sebagaian objek kajian lembaga-lembaga seperti diatas. Dalam kerangka keseluruhan kajiannya, tentulah fokus perhatian Sundanologi dan sejenisnya  juga mengurung aspek budaya kontemporer aspek budaya yang masih  dinapasi udara. Bukankan dalam konteks suatu pengembangan budaya, justru budaya kontemporer itulah yang menjadi ajang kaitan bagi hasil kajian budaya tradisional, mengigat, budaya kontemporer sifatnya”praktis”, karena ia masih hidup dan secara langsung masih dihidupkan oleh para pendukungnya.
Kalaupun ada kesan bahwa objek kajian institusi-institusi semacam Sundanologi di atas adalah budaya tradisional dan budaya masa lampau, barangkali karena kedua jenis budaya tersebut dalam kerangka penelitian dan pengkajiannya sudah cukup memberikan jarak pada kita, sehingga lebih  “memudahkan” kita menginventarisasi dan menganalisinya ketimbang budaya kontemporer yang masih melekat erat sekeliling kita.
Sastra Indonesia modern sebagai bagian dari budaya kontemporer yang tak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan tradisional  tersebut paling kentara pada karya sastra berwarna lokal. Kedudukan warna lokal itu sendiri dalam karya sastra Indonesia sebenarnya berangkat dari warna lokal, yaitu warna lokal Minangkabau. Satu warna lokal yang amat pekat yang mendominasikan corak sastra Indonesia sebelum perang.
Terlepas dari motif apapun yang mendorong hadirnya warna lokal, yang terang mengampungnya warna lokal tersebut dipermukaan sastra Indonesia memiliki daya pesona tersendiri. Ia telah memberikan keragaman dan variasi pengucapan. Ia bisa berperan sebagai papan penguak kemonotonan ekspesi dan persoalan sastra yang sering membosankan pembaca dalam efek yang paling ujung, bahkan warna lokal sering dianggap memiliki eksotisitas karena kekhasan dan kememukauannya. Dalam hal seperti itu misalnya, warna lokal dalam sastra Amerika dapat dijadikan sebagai salah satu contoh.
Secara historis, sejarah sastra Indonesia telah mencatat dua periode munculnya warna lokal secara besar-besaran, yaitu periode sebelum perang dengan warna lokal Minangkabau dan periode sesudah perang dengan warna lokal daerah Nusantara. Tentu saja dua periode pemunculan warna lokal diatas, bukanlah dua periode yang mutlak. Di luar keduanya sepanjang perjalanan sastra Indonesia, warna lokal tetap hadir, serta kehadirannya itu juga tetap menujuk pada kenyataan sosial budaya banyak daerah.
Adapun hakikat warna lokal ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjukkan secara lamgsung oleh fiksionalitas suatu karya, secara intrinsik dalam konteks struktur karya, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitnya, yaitu latar, penokohan, gaya bahasa dan suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup dunia luar yang ditunjukkan tanda tersebut , dalam hal tersebut kenyataan hidup iu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti yang luas yang antara lain, berkomponenkan aspek-aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan filsafat hidup kesenian, hubungan sosial, struktur sosial atau sistem kekerabatan.
Komponen-komponen kenyataan sosial budaya yang ditunjuk karya sastra diatas tentu saja  bukan bahan-bahan “mentah” yang sifatnya antropologis, sosiologis, agamawi, filsofis dan sebagainya. Tetapi bahan-bahan yang telah  direka demi kepentingan fiksionalitas dan estetisitas sesuai dengan hakikat sastra . Meskipun demikian aspek-aspek kenyataan diluar dunia rekaan itu tetap berfungsi sebagai bahan kajian demi pemahaman karya sastra.
Warna lokal Sunda yang secara kuantitatif hadir agak banyak pada/ dan setelah tahun lima puluhan, yang sebelumnya telah dirintis pada masa sebelum perang (ingatan roman pertemuan jodoh dari Abdul Muis) dan katak hendak menjadi lembu dari Nur Sultan Iskandar). Menunjuk pada kenyataan-kenyataan sosial budaya Sunda dengan segala aspek nya.
Karakteristik dari warna lokal Sunda diatas (juga warna lokal lainnya non-Sunda) ialah kedudukannya secara intrinsik dalam karya sastra Indonesia, ia sebagai struktur rekaan dikomunikasikan dengan media bahasa Indonesia. Sudah pasti para pengarang karya sastra berwarna lokal Sunda memperhintungkan publik Indonesia sebagai pembacanya. Selain itu, warna lokal Sunda dalam sastra Indonesia modern, juga merupakan bagian dari tekstologi cetakan yang dipublikasikan secara massal dan besar-besaran. Dengan demikian ia mempunyai wilayah jangkau yang luas, sejalan dengan itu sudah tentulah realitas ke Sundaan yang ditunjukkan punya nilai jangkau dan komunikasi yang luas pula. Hal itu akan berbeda misalnya dengan aspek-aspek ke Sundaan yang tertuang dalam bahasa Sunda, lebih-lebih dalam bentuk tekstologi lisan dan tulisan, didalam hal yang terakhir lebih-lebih lagi dalam tulisan Sunda dan Sunda Kuno. Nilai jangkau dan komunikasinya sudah pasti lebih sempit dari yang disebut diatas.
Sementara itu, mengingat sastra modern sebagai bagian budaya komtemporer  yang masih hidup, dihidupi dan dihidupkan secara langsung oleh masyarakat pendukungnya, maka dengan sendirinya sastra modern yang mengandung warna lokal termasuk warna lokal  Sunda dan lebih bernilai praktis . Hal seperti itu akan berbeda misalnya dengan tekstologi tradisional, lebih-lebih dengan tulisan Sunda yang penghayatannnya memerlukan seperangkat kerangka teori dengan sendirinya pemahaman dan peghayatan demikian, harus jauh melingkar dulu serta  dapat dibayangkan perebutan maknnya  juga akan jauh lebih sulit didalam hal diatas, pembandingan kedua persoalan tidaklah mengandung arti yang satu lebih inferior atau superior dan yang lain. Pembandingan hanya menujuk pada nilai praktisnya.
Bagaimanapun warna lokal Sunda di tengah karya sastra  modern mengandung nilai komunikatif bagi saling pengertian antar daerah dalam kerangka Indonesia, nilai tersebut pastilah sejalan dengan tujuan Sundanologi yang berusaha menggali dan mengkaji setiap aspek kebudayaan senda demi sumbangannya kepada kepentingan kebudayaan nasional.
Selanjutnya, disatu hal yang pasti warna lokal Sunda dalam sastra Indonesia, langsung dapat disambut oleh orang-orang se Indonesia karena ia dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia. Tapi tentu saja sambutan  itu baru ada ditingkat permukaan. Sambutan yang sebenarnya berupa pemahaman dan penghayatan hanya mungkin terjadi apabila aspek-aspek tersebut sebagai hasil kajian aspek-aspek tadi dan kajian terhadap aspek-aspek ke Sundaan tadi adalah tugas yang diemban Sundanologi.



C.  Telaah Sastra Akademis Identik dengan Keformalan
Telaah sastra akademis sering juga disebut kritik sastra akademis karena ia juga merupakan bagian dari kehidupan kritik sastra dalam arti yang luas. Di Indonesia telaah di atas sering dipertentangkan enggan kritik sastra populer, yaitu kritik sastra yang terhidang di lembaran koran dan majalah. Polarisasi kedua jenis telaah atau kritik ini atas terkadang sering kurang menguntungkan bagi kedua jenis telaah yang dipertentangkan tadi, jadi bagi dua dunia kritik sastra secara umum.
Sampai sekarang anggapan orang terhadap telaah sastra akademis umumnya ialah : kaku, tak enak dibaca, penuh tetek bengek referensi; sedangkan anggapan orang-orang terhadap kritik sastra populer, kira-kira dangkal, ringan, kurang cermat dan teliti dan cenderung meniadakan sumber acuan. Anggapan demikian tentulah tidak sepenuhnya benar. Banyak telaah sastra akademis yang enak dibaca, luwes dalam penyajian di tenggah lilitan keformalan. Sebaliknya, banyak telaah sastra akademis yang ringan meski bernaungan di bawah sekian puluh sumber pustaka, sebaiknya telaah sastra populer banyak yang berbobot meski merupakan etusan spontan dan tak diembeli deretan daftar referensi. Yang perlu diingat pula ialah bahwa predikat populer bagi telaah koran dan majalah lebih bersifat mengacu pada alat publikasi yang menjangkau khalayak luas, sedangkan dari segi isi dan penyajian banyak dari telaah demikian mirip telaah demikian mirip telaah sastra akademis terutama telaah yang berasal dari makalah, atau telaah sebagai hasil suatu studi.
Secara kuantitatif telaah sastra akademis oleh jumlah halaman yang banyak. Untuk skripsi umum minimal berkisar sekitar 50-60 halaman kuarto, untuk tesis sekitar 100-200 halaman dan untuk disertasi umumnya sekitar 500-1000 halaman. Sebagai bahan bandingan telaah sastra populer biasanya berkisar sekitar 4-10 halaman folio atau 5-12 halaman kuarto dengan catatan pengetikan telaah-telaah tadi bersepasi rangkap.
Sikap kuantitatifnya yang berukuran banyak itulah antara lain yang menyebabkan berbagai bentuk keformalan dapat dituangkan kepadanya dalam telaah sastra akademis. Misalnya saja, sebelum sampai kepada analisis dan kesimpulan telaah, karya tulis terlebih dahulu diawali dengan kata pengatar dan pendahuluan; disamping itu ada daftar isi, daftar pustaka, tabel, diagram dan lain-lain. Secara metodologis, biasanya dalam pendahuluan, dikemukakan juga antara lain tujuan penelitian, landasan teori dan sebagainya. Sifatnya yang panjang itu pula menyebabkan suatu kebahasan yang tertuang dalam bab, bisa beranak pula menjadi subbab dan sebagainya. Itulah salah satu ciri telaah sastra akademis.
Ciri lainnya yang cukup menonjol dalam ligkup nonteknis dan metodologis ialah bahwa uraian apapun yang akan dikemukakan harus jelas dan eksplesit dasar pijakannya, harus tegas landasan teoritisnya baik dalam tataran makro maupun dalam tataran mikro. Dalam tataran makro misalnya analisis sebuah novel berdasarkan pendekatan strukturalisme sedangkan dalam takaran mikro, misalnya pengupasan alur roman berdasarkan teori alur Boulton dan sebaiknya.
Tekadang untuk sampai pada saat landasan teoritis, yang “diinginkan”  seorang peneliti terlebih dulu harus menjalarkan sekian deret pendapat para ahli dari ahli. Dalam hal demikian tentulah yang paling ideal pendapat ahli dari menjalarkan sekian deret pendapat para ahli dari ahli. Dalam hal demikian tentulah yang paling ideal pendapat ahli dari sumber pertama. Ada beberapa sumber pertama yang dianggap cukup berbobot, sehinnga sekian penelitian demi kepentingan landasan teoritisnya berorientasi pada sumber tersebut, misalnya konsep alur dari aspek yang sama dari sumber tersebut, misalnya konsep alur dari Wellek Scholes. Dalam hal demikian tak mengherankan apabila telaah sastra akademis ( juga telaah disiplin lainnya) mengesankan pemolaan dan “kebekuan”, hal yang sering dinegatifkan oleh kritik sastra populer yang ingin mengesankan “inovotivitass” dan “kreatifitas”.  Hal  di atas memang tak terhidar dalam telaah sastra akademis, akibat tuntunan keformalanya. Salah satu akibat tuntunan diatas ialah, kesan bahwa pendapat pribadi penulisnya sendiri hampir tidak ada karena tertimbun oleh bongkah-bongak pendapat orang lain.
Efek negatif dari banyaknya pendapat oang lain yang dikutip bisa saja  muncul. Karena keformalan menghalalkan “pemolaan” maka peniliti yang malas dapat saja malas dapat saja “cemoot sana cemoaat sini” berbagai kutipan dari hasil penelitian orang lain tanpa diuji keakuratanya. Dalam hal demikian tentu saja yang tadi taruhan adalah integritas/ kejujuran si peniliti sendiri.
Telaah sastra akademis sebagai bagian dari kehidupan telaah atau kritik sastra Indonesia secara keseluruhan, meski secara gradual memiliki corak yang berbeda dengan kritik sastra populer, secara esensial ia tetap memberi peluang gerak yang luas bagi “inovativitas” dan “ kreatifitas”. Justru segala jerat keformalan dipasang, untuk diarak demi munculanya suatu penemuan baru. Keformalan tidak menghalangi kebebasan peneliti menyatakan pendapatnya sendiri, apalagi pendapat yang bersifat interpreatif, karena ilmu sastra termasuk cabang ilmu ideofrafis yang memberi peluang pada segala macam penafsiran dengan kadar yang cukup tinggi.
Telaah sastra akademis inheren dengan keformalan, yang dalam banyak hal tidak dapat dibandingkan dengan telaah atau kritik sastra populer. Menghadapi telaah sastra akademis diperlukan sikap dan kesiapan intelektual yang lain yang berbeda dengan menghadapi kritik sastra populer. Akan halnya telaah sastra akademis yang bayak tertimbun dirak-rak buku Universitas sehingga terkesan tidak memasyarakat, itu juga merupakan bagian dari keformalan yang bersifat prosedural. Untuk memasyarakatkan mereka diperlukan prosedur tertu pula, antara lain diterbitkan dalam bentuk buku.

D.  Awal dan Kelanjutan Penelitian Apresiasi Sastra
Terlalu sering masalah apresiasi sastra diperbincangkan tetapi sesering itu perbincangan dilakukan, sesering itu pula saling tuduh terjadi. Masalahnya, hasil perbincangan acap kali tetap bertumbuu pada kesimpulan yang itu-itu juga, yaitu tingkat apresiasi sastra masyarakat rendah padahal semua itu baru dugaan. Ada sifat dugaaan inilah yang mejadi pangkal lahirnya serentetan tuduh-menuduh, dengan munculnya sejumlah kambing hitam yang menjadi sasaran tuduhan tersebut.  Guru-guru Sastra (Bahasa Indonesia) di tiap jenjang lembaga pendidikan formal dituduh tak mampu mengajar, padahal sekolah-sekolah hingga kini dianggap tulang punggung peningkataan apresiasi. Lalu, giliran sastrawan yang kena. Mereka dilontari makian dan terlampau aneh-aneh dalam mencipta.
Selanjutnya, mata rantai tuduhan tak berhenti disana. Kini, kritikus yang dianggap tak becus. Mereka dituduh tak bisa membangun jembatan antara karya sastra dan pembaca karena kritik-kritiknya yang terlampau toeritis itu. Akhirnya pembaca tak luput pula dari makian. Mereka dianggap terlampau pasif. Tidak dapat mengikuti perkembangan sastra yang maju pesat.
Dalam situasi yang serba berbelit itu sebuah pertanyaan pun muncul. Benarkah kondisi kehidupan apresiasi sastra di tanah air demikian rawan? Jawabnya belum tentu. Pertama, karena belum ada penelitian yang luas dan tuntas tentangnya dan kedua karena apresiasi sastra merupakan masalah yang rumit, luas dan kompleks yang melibatkan berbagai faktor.
Barangkali untuk menjawab persoalan tingkat apresiasi sastra masyarakat kita seperti di atas tadi pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Jakarta, mencoba melakukan langkah-langkah pertama bagi pengenalan bagaimana sosok apresiasi sastra yang sesungguhnya. Itu dirintis dengan melakukan serangkaian kerja penilitian yang hasilnya telah banyak dipublikasikan walaupun yang memilikinya terbatas yaitu kalangan tertentu saja.
Dibandingkan dengan kelangkaan atau barangkali ketiadaan penelitian apresiasi sastra selama ini, maka kerja penelitian yang dilakukan pusat bahasa itu yang bekerja sama dengan berbagai Universitas, boleh dikatakan banyak juga. Kelihatannyya pada tahap pertama kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian ialah siswa SMA dari berbagai provinsi di tanah air. Pilihan langkah awal jatuh pada siswa-siswa lanjutan atas itu mungkin didasari alasan bahwa pertama pendidikan formal tetap dianggap basis apresiasi sastra dan kedua jenjang lanjutan atas merupakan tataran terakhir bagi pengenalan sastra umum dalam jalur sekolah. Setelah itu mereka akan berurusan dengan spesialisasi apabila mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, kecuali yanag memilih Fakultas Sastra atau UPI dengan jurusan yang mengandung sastra.
Dari banyak penelitian apresiasi sastra yang objek penelitiannya siswa-siswa SMA, terdapatlah contoh-contoh di bawah ini, berupa hasil penelitian-penelitiaan tersebut.
1.    Kemampuan mengapresiasi Cerita Rekaan Siswa SMA DKI Jakarta (pusat pembinaan dan pengembangan bahasa -  PPPB 1981). Tahun penelitian, 1979, dengan peneliti: Siti Chandiah, Brahim, Zaniar Rachman, Djamilah dan Sukartini Hartono.
2.    Minas membaca sastra SMA Kelas III DKI Jakarta (PPPB, 1981). Tahun penelitian 1976 dengan peneliti: J.U. Nasution, Basyrul Hanidy, Sapardi Djoko Damono dan Suhardjo.
3.    Kemampuan mengapresiasi prosa murid SPG di Jawa Timur (PPPB, 1981). Tahun penelitian. 1977, dengan peneliti Mikhsin Akhmad dan kawan-kawan.
4.    Kemampuan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Timur (PPPB, 1981). Dengan peneliti: Abdul Rachman H.A., Ny A Aminoeddin, Bassenang dan Widodo.
Tentulah peneliti-peneliti yang berpretensi ilmiah seperti di atas yang secara konsepsional, procedural, maupun operasional dilandasi teori dan metodologi tertentu yang berakhir dengan suatu kesimpulan. Dalam kaitan ini adalah menarik kesimpulan yang dihasilkan oleh penelitian nomor empat yang diatas kira-kira kalau diutarakan secara umum berbunyi sebagai berikut. Murid-murid SMA Jawa Timur tidak mampu menunjukkan gaya tuturan/bentuk gaya penceritaan karya prosa fiksi tetapi mereka mampu mengapresiasi keseluruan unsur intrinsik karya prosa fiksi tersebut. Dalam hal puisi, siswa-siswa di atas juga mampu mengapresiasi keseluruhan unsur intrinsiknya, sedangkan selangkah lebih jauh lagi, murid-murid SMA di atas juga mampu mengapresiasi keseluruhan karya sastra dalam hal ini prosa dan puisi.
Butir-butir kesimpulan yang lainnya ialah bahwa terdapat perbedaan tingkat kemampuan apresiasi antara jurusan IPA, IPS dan Bahasa, sedangkan secara keseluruhan murid SMA Negeri Jatim tersebut tidak mampu menemukan dan menunjukkan nilai etik/moral kehidupan budaya dalam karya sastra.

E.  Mencegah Verbalisme Literer
Asrul Sani dan kawan-kawannya pada awal tahun limu puluhan pernah melaporkan tuduhan impase atau keseluasan dalam sastra Indonesia. Kata mereka, sastra awal tahun lima puluhan cuma berlingkar seputar cerpen dan sajak, dua genre sastra yang amat akrab dengan majalah. Karena tuduhan itu dilaporkan dari negeri Belanda oleh Asrul Sani dan rekan-rekannya yang sedang bersimposium di sana, ia tak urung membuat berang para penelaah sastra ditanah air.
Menghadapi tuduhan demikian, dalam symposium sastra yang di selengarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta sekitar masa itu juga, tak lebih tak kurang seorang. H.B.Jassin memberondongkan bantahan dengan mengajukan sejumlah bukti yang meyakinkan, kualitas maupun kuantitas, tentang masih segar-bugarnya sastra Indonesia, jauh dari kelesuan atau impasse.
Yang perlu menjadi bahan cacatan pula ialah bahwa sinambungannya pemunculan hasil karya itu selalu diimbangi oleh tingkat kreativitas yang tinggi sehingga pengucapan sastra Indonesia modern tidak pernah monoton, bahwa kreativitas itu sering berjalan mendahului produktivitas, dalam arti karena barunya pengucapan atau ekspresi, banyak karya yang tak dipahami masyarakat.
Meningkatnya jumlah karya sastra setiap tahun pembaca ditantang oleh karya tersebut untuk menjadi penikmat, pembaca Indonesia sering juga memberi respons sebagai penikmat. Mungkin perlu dibubuhkan garis bawah tingginya cetak ulang pada novel-novel konsentrasional sebelum perang antara lain disebabkan novel memberikan jalan pada pembaca untuk turut “mendengarkan” seperti mereka menyimak dongeng tradisional.
Cetak ulang tinggi demikian bagi kehidupan apresiasi sastra amat baik dampaknya. Cetak ulang tinggi itu memudahkan penikmatan karena karya tersedia terus. Terutama bagi kalangan pelajar dan mahasiswa hal demikian memungkinkan penikmat langsung. Lain halnya dengan karya sastra yang tidak mengalami cetak ulang atau memahami juga cetak ulang tetapi angkanya amat rendah. Karya-karya demikian biasanya langsung tertimbun waktu tak sempat muncul kembali ditengah khalayak penikmat. Meskipun demikian  ia terabdikan juga dalam buku-buku pengajaran sastra, kritik dan esai, reseni dan sorotan, buku sejarah sastra, atau biografi sastrawan.
Pada sastra pujangga baru dan sastra zaman Jepang serta periode sesudahnya gejala demikian sama terlihat. Buku-buku langka demikian, benar tidak bernilai komersial sehingga mungkin penerbit tidak mau menanggung risiko untuk mencetak ulangnya kembali, namun harus diingat bahwa ia benilai sastra dan budaya. Dilihat dari segi kesastraan, hanya tercatatnya mereka dalam sejarah sastra atau ulusan, serta kritik esai, akan menumbuhkan verbalisme terbelakang. Pembaca hanya kenal nama tak kenal rupa dan makna. Bagi kepentingan ilmu dan teori sastra serta solusi serta ia amat kurang urgen kehadirannya.  Adapun dari segi budaya ia merupakan bagian dari kekayaan ekspresi bangsa, bangsa yang sedang membentuk bagian dari kekayaan budaya di atas terasa lebih tinggi lagi karena sastra Indonesia modern memakai medium bahasa Indonesia, bahasa persatuan, bagai ekspresinya.
Melihat berbagai urgensi dan relevansnya, sudah tiba saatnya badan-badan yang berkomponen dengan penerbitan sastra membuat redisi karya langka modern itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh penerbit pustaka rakyat yang antara lain telah mencetak ulang dan yang tak kunjung padam, anak perawan di sarang penyamun, serta tak putus sirundung malang, ketiganya novel dari Sultan Takdir Alisyahbana. Demikianlah dalam seluruh kiranya percetakan ulang itu terlalu sedikit. Menyadari hal itu semua, penerbit Pemerintah, Balai Pustaka, bekerja sama dengan proyek penerbit buku bacaan dan sastra Indonesia dan daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mulai merintis mengedisikan kembali karya-karya sastra modern langka tersebut ditengah pengedisian sastra tradisional yang dijadikan prioritas pertamanya.











BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Secara umum ada dua jenis penelitian sastra yaitu penelitian sastra sinkronis dan penelitian sastra diakronis.  Kini dalam penelitian sastra, khususnya yang berlaku dikalangan akademis sastra, tingkat sarjana maupun pascasarjana, dikenal antara lain pendekatan/metode penelitian sastra yang dianggap “sah”, yaitu metode strukturalisme dan semiotic atau strukturalisme dinamik. Kegiatan  ilmu sastra di Barat kini cukup bergolak. Banyak hal berada diluar pengamatan kita, karena kelemahan berbagai faktor yang kita miliki tak mustahil penelitian sastra di Barat kini. Sedangkan menuju ke titik kesempurnaannya, antara lain ditemukannya polarisasi metode penelitian kedalam  operasional tekniknya.
Warna lokal Sunda yang secara kuantitatif hadir agak banyak pada tahun lima puluhan. Warna lokal Sunda di tengah karya sastra modern mengandung nilai komunikatif serta saling pengertian antar daerah dalam kerangka Indonesia. Nilai tersebut pastilah sejalan dengan tujuan Sundanologi yang berusaha menggali dan mengkaji setiap aspek kebudayaan Sunda demi sumbangannya kepada kepentingan kebudayaan nasional. Banyak telaah sastra akademis yang enak dibaca, luwes dalam penyajian di tenggah lilitan keformalan. Telaah sastra akademis inheren dengan keformalan, yang dalam banyak hal tidak dapat dibandingkan dengan telaah atau kritik sastra populer.
Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Jakarta, mencoba melakukan serangkaian kerja penelitian. Kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian ialah siswa SMA dari berbagai provinsi di tanah air.
18
 
Asrul Sani dan kawan-kawannya pada awal tahun lima puluhan pernah melaporkan tuduhan impase atau keseluasan dalam sastra Indonesia. Menghadapi tuduhan demikian, dalam symposium sastra yang di selengarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta sekitar masa itu juga, tak lebih tak kurang seorang. H.B.Jassin memberondongkan bantahan dengan mengajukan sejumlah bukti yang meyakinkan, kualitas maupun kuantitas, tentang masih segar-bugarnya sastra Indonesia jauh dari kelesuan atau impasse.
Melihat berbagai urgensi dan relevansinya, penerbit Balai Pustaka yang antara lain telah mencetak ulang yang tak kunjung padam, anak perawan di sarang penyamun, serta tak putus sirundung malang, ketiganya novel dari Sultan Takdir Alisyahbana. Demikianlah dalam seluruh kiranya percetakan ulang itu terlalu sedikit. Menyadari hal itu semua, penerbit Pemerintah, Balai Pustaka, bekerja sama dengan proyek penerbit buku bacaan dan sastra Indonesia dan daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mulai merintis mengedisikan kembali karya-karya sastra modern langka tersebut ditengah pengedisian sastra tradisional yang dijadikan prioritas pertamanya.

B.  Saran
Di sarankan kepada pembaca hendaknya semakin menumbuhkan rasa ingin tahu dan kepedulian terhadap sastra Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk  memperkaya dan memperdalam pengetahuan mengenai sastra Indonesia.
Kepada mahasiswa diharapkan agar dapat menggali, meneliti dan mengkaji sastra-sastra daerah yang ada di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan mahasiswa serta sebagai upaya dalam melestarikan sastra Indonesia.
Bagi penulis lain, diharapkan agar memperdalam kajian  mengenai sastra Indonesia, dengan menganalisis dan mengkaji sastra Indonesia. Hal tersebut dilakukan demi memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai sastra Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA


20
 
Kusman K. Mahmud. (2013). Sastra Indonesia Daerah. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar